Relakah kalau Kita jadi sasaran
celaan orang lain? Maukah Kita kalau kakak atau adik kandung Kita menjadi buah
bibir masyarakat terhadap kekeliruan yang dilakukannya? Ridhakah Kita kalau ada
orang membuka aib (cela) diri Kita di depan orang banyak? Kalau Kita tidak suka
itu semua, semua orang pun tidak menyukainya, iya bukan???
Karena itulah, Allah swt Yang
Maha Sayang kepada hamba-hamba-Nya yang setia beriman, memperingatkan sejak
awal akan bahaya ghibah (menggunjing), membuka aib seseorang. Peringatan Allah
diungkapkan dengan bahasa komunikasi yang sangat efektif, dengan cara
memberikan perumpamaan orang yang menggunjing saudaranya seperti menyantap
daging segar saudaranya yang sudah menjadi mayit itu. Artinya kalau memakan
daging mayit tidak disukai, maka mengapa orang suka membicarakan keburukan dan
aib saudaranya yang jauh dari pengetahuannya.
Apa maksud Allah swt memulai ayat
larangan ghibah dengan seruan kepada orang beriman? Apa artinya Allah
mengaitkan perbuatan tercela itu dengan keimanan? Yaa ayyulladziina aamanuu
(wahai orang-orang beriman…). Demikian Allah sangat sayang dan penih mahabbah
menyeru, mengingatkan dan mentaujih kita orang beriman. Karena Iman dan sifat
tercela itu tidak akan mungkin bersatu, ibarat air dengan minyak, tidak logis
muslim apalagi dai mendekati sesuatu yang dicela Allah swt dan rasul-Nya.
كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله
وعرضه (رواه مسلم)
Setiap muslim terhadap muslim
lainnya haram, darahnya, hartanya dan kehormatan dirinya (H.R. Muslim).
Karena ghibah merupakan larangan
Allah, rambu-rambu pergaulan dengan sesama, lebih jauh lagi ia merupakan arahan
Ilahi bagi orang beriman agar menjauhi sifat tercela itu, maka pelanggaran
terhadap larangan dan peringatan itupun berakibat kepada kenistaan pelakunya.
Dengarkan kisah perjalanan Isra Mi’raj Rasulullah saw yang sempat diperlihatkan
beberapa pemandangan yang mengerikan, untuk lebih meyakinkan diri dan umatnya
terhadap kejadian yang menimpa itu, “Pada malam perjalanan Isra Mi’raj, aku
diperlihatkan orang-orang yang mencakar-cakar mukanya dengan kuku-kuku tajam
mereka, aku bertanya: Wahai Jibril siapa mereka itu? Jibril a.s menjawab:
Mereka adalah orang-orang yang menggunjing orang lain dan membuka aib
(kehormatan) dirinya”. (H.R. Abu Daud dengan sanad yang sangat shahih). Semoga
Allah melindungi kita dari azab dan siksa-Nya.
Meskipun ghibah bukan merupakan
kaba’ir (dosa besar) tetapi ternyata melakukannya menjadi factor penyebab
menimpanya azab kubur kepada pelakunya. Sahabat Jabir berkisah: Ketika kami
bersama dengan Rasulullah saw, kami melewati 2 buah makam, seraya Rasulullah
saw bersabda: Mereka berdua sedang disiksa di kubur mereka, bukan karena dosa
besar yang dilakukannya, tetapi yang satu karena menggunjing orang lain,
sedangkan yang lain tidak bersuci dari kencingnya”.
Karenanya pula Rasulullah saw
memberikan peringatan yang keras, sampai-sampai ia menyampaikannya dalam sebuah
khutbah dengan suara yang menggelegar terdengar wanita-wanita di rumah mereka,
“Wahai orang-orang yang percaya kepada lisannya, tapi tidak mempercayai hati
nuraninya, jangan kalian menggunjing saudaramu sesama muslim, jangan pula
membuka auratnya, karena siapa yang membuka aurat saudaranya niscaya Allah akan
membuka aib dirinya, barang siapa yang Allah buka aib dirinya, Dia akan mencela
dirinya walau di dalam rumahnya” (H.R. Ibnu Abid-Dunya, Abu Daud dari hadits Abu
Burzah dengan sanad yang jayyid).
Ingatlah , bahwa saat Kita
melakukan taqwim tarbawi, dan Kita menyentuh kekurangan-kekurangan akh yang Kita
taqwim tersebut, jarak antara proses itu dengan ghibah sangatlah tipis.
Karenanya, sebelum Kita melangkah kepada proses taqwim, hendaknya membersihkan
hati Kita, ikhlaskan niat dan motivasi, tingkatkan dzikir dan amalan-amalan
shalih Kita. Sebab kita harus merasa khawatir akan terjerumus kepada perbuatan
ghibah, sebagaimana sering dikhawatirkan para Salafus-Shalih.
Ibnu Abbas menyerukan, “Siapa
yang berkeinginan menyebut aib temannya, maka sebutkanlah terlebih dahulu
menyebut aib dirinya”. Abu Hurairah pun berkata, “Sungguh mengherankan, ada
orang dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi tidak dapat
melihat kotoran besar di matanya sendiri. Sebagaimana al-Hasan menegaskan, “Ikhwah
fillah, Kita tidak akan memperoleh lezat dan esensi iman, sampai Kita mampu
tidak membuka aib temanmu dengan sebuah aib yang ada pada diri Kita, sampai Kita
juga mampu memperbaiki aib itu dimulai dari dirimu. Jika itu dapat Kita
lakukan, niscaya Kita akan terbiasa menyibukkan diri dengan perbaikan diri Kita,
dan hal itu yang disukai Allah”.
Adalah bukti kasih saying Rasul qudwah
kita, ketika memberikan arahan tentang bahaya lisan, bahwa kesempurnaan Islam
seseorang dilihat dari kebersihan lisan dan tangannya dari bentuk-bentuk
gangguan terhadap saudaranya:
المسلم من سلم
المسلمون من لسانه ويده (رواه مسلم)
Orang muslim adalah yang orang
muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya (H.R. Muslim).
Di antara bentuk gangguan lisan
itu adalah “namimah” (‘mengadu domba’), seseorang berkata kepada kawannya,
bahwa si Fulan telah mengatakan sesuatu tentang dirimu. Sehingga hal tersebut
membuat kawannya marah dan tidak suka kepada si Fulan itu.
Namun bentuk namimah tidak
sebatas provokasi, tetapi menyebarkan rahasia seseorang juga termasuk namimah,
atau memberitahukan orang sesuatu yang tidak disukainya. Kondisi seperti ini
hendaknya disikapi dengan sikap yang bijak, yakni tidak menambah penyebaran
berita itu, tetapi sebaiknya ia mendiamkan, kecuali pemberitaan sesuatu yang
ada manfaat dan maslahatnya bagi muslim atau untuk mencegah bahayanya.
Ketahuilah, bahwa setiap yang
dilarang dalam Islam, memberikan manfaat besar bagi muslim, baik dalam
kehidupan individu maupun kehidupan masyarakat. Ternyata bahaya namimah tidak
hanya untuk pribadi pelakunya, tetapi dapat memberikan dampak yang sangat luas
dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Karenanya Allah swt dan Rasul-Nya
memberikan ancaman-ancaman berat bagi para pelaku namimah
“Jangan
kamu taati orang-orang yang mendustakan agama….(yaitu) yang banyak mencela,
yang kian kemari menghambur fitnah” (Q.S. Al-Qalam: 11).
“Neraka
wail bagi pengumpat atau penyebar fitnah dan pencela” (Q.S. Al-Humazah: 1)
“…akan
masuk neraka…….pembawa kayu bakar” (Q.S. Al-Masad: 2-4), si pembawa kayu bakar
itu dahulunya orang yang menyebarkan fitnah. Sebagaimana 2 wanita yang
berkhianat kepada suaminya yang Nabi itu, mereka adalah wanita-wanita yang
menyebarkan fitnah dan aib suaminya yang salih-salih itu (baca surat at-Tahrim).
“Tidak
akan masuk surga orang yang melakukan namimah” (H.R. Imam Bukhari Muslim).
“Orang
yang paling dicintai Allah adalah orang-orang yang berupaya melakukan ta’lif
(menjadi golongan perekat), sedangkan yang paling dibenci Allah adalah
orang-orang yang menyebar fitnah, yang memecah persatuan saudaranya,
mencari-cari kesalahan orang shalih” (H.R. Imam Thabrani).
“Maukah
kalian aku beritahu orang yang paling buruk di antara kalian? Dia adalah orang
yang berjalan berkeliling melakukan namimah, merusak persaudaraan orang-orang
yang saling bercinta dan yang mencari kesalahan orang” (H.R. Ahmad).
Setiap kita pasti tidak suka
difitnah, sebagaimana kita juga tidak suka ayah atau ibu atau saudara kita
mendapat fitnah; karena itulah orang lain juga tidak senang difitnah dan
dibicarakan aib diri mereka.Untuk itu setiap ada berita kita
dengar atau lihat, hendaknya diklarifikasi di-tabayyun, jika tidak, maka akan
berakibat fatal. Tadabburi pesan Allah swt:
Wahai orang-orang beriman, jika
datang kepadamu orang fasiq dengan membawa sebuah berita, hendaknya
diklarifikasi (tabayyun), karena khawatir menimpa suatu kaum dengan cara yang
‘bodoh’ yang akan mengakibatkan kalian menyesal. (Q.S. Al-Hujurat: 6)
Yakinlah, bahwa bimbingan dan arahan Allah dan Rasul-Nya
pasti memberikan pencerahan dan kesejahteraan hidup, pada kehidupan individu,
keluarga, masyarakat dan hidup bernegara serta kebaikan bagi peradaban manusia.
Wallahu A’lam
Sumber: Khithab Qiyadi, Taujihat Lailatul Katibah