1. Filsafat Ilmu
Menurut
Jujun S. Suriasmantri, filasafat ilmu merupakan bagian dari epistimologi yang
secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan
cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu
sosial, namun karena permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu
ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilu alam atau ilmu-ilmu sosial dan tidak mencirikan cabang
filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan pengetahuan secara filsafat,
namun tidak dapat perbedaan yang prinsip antarailmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama. Semua
pengetahuan apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya
mempunyai 3 landasan yakni Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis. Dari semua
pengetahuan maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis,
epistimologis, dan aksiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan
dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh
disiplin.
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Guru Besar
Pasca Sarjana dalam Filsafat Ilmu, Penelitian dan kebijakan dalam bukunya
Filsafat Ilmu, Positivisme, Postpositivisme dan Postmodernisme Edisi II
menyatakan bahwa, perkembangan filsafat ilmu yangsangat pesat dari tahun 1960
sampai dengan tahun 1995 adalah satu buktitumbuhnya upaya telaah dari
pengukuran kuantitatif ke meta-science.Perkembangan filsafat ilmu itu terus
berlanjut sampai dengan tahun 2000 dalamkonteks postmodernisme, dimana konstruksi,
struktur dan paradigma menjadiberkembang berkelanjutan; selalu terjadi
rekonstruksi berkelanjutan, terjadidekonstruksi, berkembang pemikiran post
struktural dan post paradigmatik, danlogika study berkembang menjadi non
standar logic.
Filsafat Ilmu sebagaimana dimaksud di atas adalah
bertugas memberi landasan filosofis untuk minimal memahami berbagai konsep dan
teori sesuatu disiplin ilmu, sampaimembekalkan kemampuan untuk membangun teori
ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan
dari disiplin ilmu masing-masing,agar dapat menampilkan substantif. Selanjutnya
secara teknis diterapkan dengan dibentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat
mengoperasionalkan pengembangankonsep tesis, dan teori ilmiah dari disilpin
ilmu masing-masing.
Dengan demikian maka Filsafat Ilmu akan sangat menambah
wawasan bagi yang menggelutinya, artinya orang yang mendalami filsafat ilmu
akan berwawasan luas, baik dalam arti filosofik, teoritik, metodologic, maupun
teknis operasional.
Filsafat Ilmu memiliki empat obyek telaahan. Dua obyek
menelaah substansinya, dan dua obyek lainnya menelaah instrumentasinya. Dua
yang pertama (telaah substansi) adalah Fakta atau kenyataan; dan kebenaran.
Sedangkan dua yang terakhir (telaah instrumentasi) adalah Uji konfirmasi; dan
Logika Inferensi.
2. Ontologi dan Metafisika
Prof. Dr. Noeng Muhadjir menyatakan
bahwa Ontologi obyek bahasannya adalah yang ada. Study tentang yang ada pada
dataran study filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Ontologi
membahas tentang yang ada yang tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu;
yang universal; dan berupaya mencari inti yang termuat dalam kenyataan atau
yang meliputi semua realita dalam semua bentuknya.
Sementara
menurut Jujun S. Suriasumantri, ontologi merupakan
salah satu dari tiga aspek yang dikaji oleh filsafat ilmu. Ontologi berisikan
pertanyaan tentang hakikat apa yang dikaji, obyek apa yang ditelaah ilmu?
Sementara metafisika adalah salah satu bidang telaah filsafati dari aspek
ontologi yang merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati
termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke
bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika adalah
landasan peluncurnya. metafisika merupakan gabungan paham supranatural dan
naturalisme yang meyakini bahwa semua yang ada dibumi memiliki penjelasan
secara alam juga ada yang gaib.
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya berbicara tentang Ontologi adalah
berbicara tentang hakikat ataupun kenyataan(realita) sesuatu yang ada, baik
yang jasmani maupun yang rohani. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah
pembicaraan tentang hakikat ataupun kenyataan(realita) sesuatu sangatlah luas
sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada.
3. Epistemologi
Menurut
Jujun S. Suriasumantri setiap jenis pengetahuan
memiliki ciri-ciri yang spesifik mengenai apa(ontologi),
bagaimana(epistemologi), dan untuk apa (aksiologi). Dalam materi ini
akan dijelaskan lebih lanjut mengenai epistemology.
Epistemologi
merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah
sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup
pengetahuan? Apakah
manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan?Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.
Dalam kajian
filsafati epistemology mengkaji cara menyusun pengetahuan yang benar. Sedangkan
metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang
benar. Jadi, dalam epistemologi dibahas
metode ilmiah sebagai cara yang digunakan dalam mencari kebenaran.
Hal yang senada dan yang menjadi
pelengkap ditulis Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, beliau menyatakan epistemologi
membahas tentang terjadinya dan kesahinan atau kebenaran ilmu. Hal yang hampir
sama dikemukakan oleh Amsal Bakhtiar yang menyatakan bahwa Epistemologi atau
teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dandasar-dasarnya serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuanyang dimiliki. Yang
menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana cara untuk mendapatkan
ilmupengetahuan itu dan bagaimana melakukan pembenaran terhadapnya. Ada dua
teori pembenaran tradisional ilmu pengetahuan sebagaimana dikemukakan oleh
Noeng Muhadjir. Pembenaran pertama ialah teori koherentisisme dan yang kedua
adalah teori foundationalisme.
Para penganut teori foundationalisme klasik berpendapat
bahwa semua pengetahuan danpembenaran yang diyakini itu sepenuhnya berlandaskan
pada pengetahuan danpembenaran noninferensial. Maksudnya : Pembenaran hari ini
turun hujan dimaksudkan hanya membenarkan turun hujan; tetapi tidak ada maksud
meramalkan bahwa hari lain dengan kondisi yang sama akan juga turun hujan.
Berbeda halnya dengan penganut pahan koherentisisme yang
memandang bahwa yang diyakini itu tidak akan terlepas dari lingkaran dari semua
yang diyakini. Yang diyakininya adalah tampilan kaya akan dihormati. Jajan di
warung Tegal tak mau. Dikenal orang miskin tak mau, malu dikira miskin pula.
Menurut teori ini sesuatu yang diyakini itu tidak terlepas dari keseluruhan
sistem yang diyakininya, sehingga pembenaran terhadap sesuatu yang diyakini,
dapat dilacak keterkaitannya dengan keseluruhan sistem yang diyakininya.
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut yang
diperoleh manusia melalui akal, indera, dan lain sebagainya mempunyai metode
tersendiri dalam teori pengatahuan. Ada sejumlah teori untuk mendapatkannya,
antara lain :
1. Metode Induktif
Metode Induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan
pernyataan-pernyataan hasil observasidisimpulkan dalam suatu pernyataan yang
lebih umum. Dan menurut suatu pandanganyang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai
oleh metode induktif, suatuinferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari
pernyataan-pernyataantunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan
penelitian orang sampaipada pernyataan-pernyataan universal.
2. Metode Deduktif
Metode Deduktif ialah suatu metode yang menyimpulkan
bahwa data-data empirik diolah lebihlanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
runtut . Hal-hal yang harus ada dalammetode deduktif ialah adanya perbandingan
logis antara kesimpulan-kesimpulanitu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis
teori itu dengan tujuan apakah teoritersebut mempunyai sifat empiris atau
ilmiah, ada perbandingan denganteori-teori lain dan ada pengujian teori dengan
jalan menerapkan secara empiriskesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari
teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode inidikeluarkan oleh August Comte (1798-1857 M).
Metode ini berpangkal dari apayang telah diketahui, yang faktual, yang positif.
Ia mengenyampingkan segalauraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh
karena itu, ia menolakmetafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah
segala yang tampak dansegala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang
filsafat dan ilmupengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Menurutnya perkembanganpemikiran manusia itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu
: tahap teologis,tahap metafisis dan tahap positivistis.
4. Metode Kontemplatif
Metode inimengatakan adanya keterbatasn indera dan akal
manusia untuk memperolehpengetahuan, sehingga obyek yang dihasilkanpun akan
berbeda-beda harusnyadikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan
intuisi. Pengetahuan yangdiperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara
berkontemplasi sepertiyang dilakukan oleh Al-Ghozali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya
jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates.
Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap
logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis
sistemik tentang ide-ideuntuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
4. Aksiologi
Jujun
S. Sumriasumantri dalam bukunya mengungkapkan bahwa untuk
apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan? Kearah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Sejak
pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam
perpektif yang berbeda. Sejak Copernikus ( 1473-1543 ) mengajukan teori tentang
kesemestaan alam dan menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari
dan bukan sebaliknya seperti apa yang diajarkan oleh ajaran agama maka
disinilah timbul interaksi antara ilmu dan moral ( yang bersumbe dari ajaran
agama ). Para ilmuan berusaha untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran
alam sebagaimana semboyan : ilmu yang bebas nilai. Secara historis fungsi
sosial dari kaum ilmuwan telah lama dikenal dan diakui. Raja Charles II dari
Inggris mendirikan the Royal Society yang bertindak selaku penawar bagi
fanatisme di masyarakat waktu itu. Para ilmuwan pada waktu itu bersuara
mengenai toleransi beragama dan pembakaran tukang-tukan sihir. Sikap sosial
seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuwan yang
dilakukan. Ilmu terbebas dari nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para
ilmuwanlah yang memberikan nilai. Dalam menghadapi masalah social, seorang
ilmuwan yang mempunyai latar belakang
pengetahuan yang cukup harus menempatkan masalah tersebut pada proporsi ang
sebenarnya dan menjelaskanya lepada masyarakat dalam bahasa yang dapat dicerna.
Dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan maka harus dapat
mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogiyanya mereka
safari. Dibidang etika, tanggungjawab seorang ilmuwan bukan lagi memberikan
informasi tetapi memberikan contoh. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan
membiarkan hasil penemuanya untuk menindas bangsa lain meskipun yang
menggunakan itu adalah bangsanya sendiri. Einstein waktu itu memihak Sekutu
karena anggapanya bahwa sekutu mewakili aspirasi kemanusiaan. Jika sekutu kalah
maka yang akan muncul adalah rezim Nazi yang tidak berperikemanusiaan. Untuk
itu seorang ilmuwan tidak boleh berpaku tangan. Dia harus memilih sikap:
berpihak kepada kemanusiaan atau tetap bungkam?. Seorang ilmuwan tak boleh memutarbalikan
penemuwannya bila hipotesisnya yang dijunjung tinggi yang disusun diatas
kerangka pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan
karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian.
Sejarah mencatat bahwa ilmu pengetahuan
adalah merupakan satu alat yang sangat diperlukan olehummat manusia dalam
situasi dan kondisi apapun ia berada sebab dengan ilmupengetahuan segala urusan
akan dengan mudah dapat dilakukan dan tujuan yanghendak dicapai akan dapat
tercapai dalam waktu yang relatif singkat. Oleh karena itulah maka dalam ajaran
agama Islam disebutkan Allah SWTakan meninggikan derajat
orang yeng berilmu pengetahuan beberapa derajat dan bahkan lebih tinggi
derajatnya daripada Malaikat Nabinya juga bersabda :Kalau anda ingin hidup
bahagia dan selamat di dunia maka raihlah ilmupengetahuan, dan apabila anda
ingin hidup bahagia dan selamat di akahirat makaraihlah ilmu pengetahuan, dan
apabila anda ingin bahagia dan selamat di duniadan akhirat bersamaan maka
raihlah ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengatahuan yang dibarengi dengan
berkembangnya tekhnologi telah membawa dua dampak yang saling berlawanan bagi
ummat manusia. Pada satu sisi memberikan dampak positif yang sangat besar sebab
memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi segenap ummat manusia yang
memakainya. Namun pada sisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ini
telah membawa malapetaka bagi ummat manusia seperti terjadinya perang dengan
korban ribuan bahkan jutaan ummat manusia dan lain-sebagainya.
Oleh karena itulah maka ilmu pengetahuan yang pada dasarnya adalah bebas nilai,
menjadi tanggungjawab bagi para ilmuan untuk mengisinya dengan nilai-nilai agama
dan kemanusiaan, sehingga ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut dapat mengabdi
untuk kemanusiaan dan perbaikan kesejahteraan ummat manusia, bukan justru untuk
merusak dan membinasakan kemanusian dan alam sekitar. Untuk mengenal apa yang
dimaksud dengan Aksiologi, ada beberapa definisi tentang Aksiologi, sebagai
berikut :
1. Aksiologi berasal
dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori.
Jadi Aksiologi adalah teori tentang nilai.
2. Sedangkan arti Aksiologi yang terdapat dalam
bukunya Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilimu Sebuah Pengantar Populer, bahwa
aksiologi diartikan sebagaiteori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh.
3. Menurut Bramel,
aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct,yaitu tindakan
moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kedua,esthetic
exepression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkankeindahan. Ketiga,
sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yangakan melahirkan
filsafat sosial politik.
4. Menurut
Prof.Noeng Muhajir, Aksiologi disamakan dengan Value dan Valuation yang artinya
Nilai baik sebagai kata benda abstrak, kata benda konkrit maupun kata kerja.
Dan menamakan axiology dengan The teory of value dan termasuk bagian dari
etika.
Dari beberapa definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa aksiologi itu permasalahan sesungguhnya adalah mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Apabila nilai,etika dan estetika ini
dapat diterapkan dalam dunia ilmu pengetahuan dan tekhnologi maka dapat
dipastikan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu akan dapat memberikan
manfaat yang sangat besar bagi ummat manusia. Namun apabila sebaliknya yang
terjadi, dimana para ilmuan tidak dapat memberikan danbahkan mengontrol
kemajuan ilmu pengatahuan dan tekhnologi dengan nilai, etika dan estetika, maka
kehancuran ummat manusialah yang akan terjadi. Kemajuan ilmupengatahuan
bukannya akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, tetapi justru akan menjadi
laknat yang akan menghancurkan kemanusiaan dan alam semesta.
Oleh karena itu maka peran agama
sangatlah diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebab
agama akan memberikan arah dan tujuan yang jelas dan bemanfaatbagi manusia dan
alam sekitar. Dalam pandaangan agama Islam sebagaimana sering disampaikan oleh
para pemikir muslim komtemporer, Islamisasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi
mutlak diperlukan.
5. Kebenaran
Jujun S. Suriasumantri menjelaskan
“kebenaran” berdasarkan kriteria kebenaran
yaitu :
a.Paham-Koherensi
Sesuatu yang dianggap benar apabila pernyataan dan kesimpulan konsisten dengan
pernyataan dan kesimpulan yang terdahulu yang telah dianggap benar. Teori ini
disebut teori koherensi. Atau dapat disimpulkan bahwa teori koherensi adalah
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
b.Paham-Korespondensi ; Bagi penganut teori
korespondensi, suatu pernyataan benar adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi ( berhubungan ) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut.
c.Paham-Pragmatisme; Bagi kaum pragmatisme
kebenaran adalah suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan
adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Menurut
Prof.Noeng Muhadjir kebenaran dapat dikatakan benar dalam dua makna, yaitu :
1. Benar dalam makna filsafati yang terkait dengan
pandangan ontologi, pandangan axiologi, dan pandangan epistimologi.
2. Benar epistemologik yang menghasilkan kebenaran yang
beragam sesuai dengan cara membuktikan kebenaran yang digunakan. Adapun cara
membuktikan kebenaran tersebut ialah :
a. Kebenaran positivistik; yang dapat dibuktikan dengan
causal relations serangkaian fakta empirik indriawi, mereduksi empiri non
indriawi.
b. Kebenaran konstruk interpretif kebahasaan; merupakan
kebenaran dari kesatuan suatu bahasa.
c. Kebenaran phenomenologik; merupakan kebenaran
koherensi yaitu sinkronnya moral yang lebih rendah terhadap moral yang lebih
tinggi
d. Kebenaran Constructed
6.
Rasionalisme/Idealisme
Menurut
Jujun S.Suriasumantri, Pada dasarnya terdapat
dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang
pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri
kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal
dengan rasionalisme sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman
mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis beranggapan bahwa pengetahuan didapatkan lewat penalaran
rasional yang abstrak sedangkan kaum empirisme pengetahuan manusia didapatkan
lewat bukti konkret. Selain rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara
untuk mendapatkan pengetahuan yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan
pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Suatu
masalah dalam pikiran namun menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul di benak
kita yang lengkap dengan jawabannya dan kita merasa yakin bahwa itulah
jawabannya namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai
kesana. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Wahyu pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada para nabi dan
rasul-rasulnya.
Menurut
Prof.Noeng Muhadjir, Rasionalisme pada dasarnya kontras terhadap empirisme.
Kebenaran substantif dalam visi rasionalisme diperoleh lewat kekuatan
argumentasi manusia. Perkembangan rasionalisme dapat dirunut dari Descartes,
Spinoza, dan leibniz yang doktrinnya adalah semua ilmu itu berasal dari Tuhan.
Sedangkan menurut para rasionalis, peran tuhan berada pada dataran metaphisik,
berbeda dengan pengembangan ilmu yang epistomologik. Dalam pembahasannya
Prof.Noeng Muhadjir, memfokuskan pembahasan empirisme pada positivisme.
7.
Realisme/Empirisme
Menurut
Prof.Noeng Muhadjir, Realisme pada garis besarnya merupakan sintesis antara
idelaisme Immanuel Kant dengan Empirisme John Lock. Empirisme adalah suatu cara atau metode dalam filsafat yang mendasarkan
cara memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. John Locke (1632-1704), bapak
empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan, akalnya
seperti catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah
kemudian dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Empirisme
menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat
diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki sifat kritis
terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu.
Dengan demikian, strategi utama untuk memperoleh ilmu dilakukan dengan
menerapkan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John
Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan
menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan
serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal
sebagai tempat penampungan secara pasif, menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak
kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama, yang dapat
diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan
modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu,
tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu
pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan
sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat
yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial. Acapkali empirisme
diparalelkan dengan tradisi positivisme. Akan tetapi keduanya mewakili
pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.
8. Positivisme
Istilah positivisme digunakan
pertama kali oleh Saint Simon (sekitar 1825). Positivisme berakar para
empirisme. Prinsip filosofis tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh
empirist Inggris Francis Bacon (1600). Tesis positivisme adalah bahwa ilmu
adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang
mungkin menjadi objek pengetauhan. Dengan demikian, positivisme menolak
keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak penggunaan
segala metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Aliran
positivisme berpendapat bahwa filsafat hendaknya semata-mata berpangkal pada
peristiwa positif yang dialami manusia. Positivisme adalah doktrin filsafat dan
ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti
empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi
positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai
subyektif. Ia mengganti nilai subjektif dengan fakta yang bisa diamati.
Salah satu
bagian dari tradisi positivisme adalah sebuah konsep yang disebut dengan
positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang
menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ pada awal abad ke duapuluh. Sebagai
salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian
ilmu pengetahuan yang lebih banyak disandarkan pada deduksi logis daripada
induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah
memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial harus
“diilmiahkan”. Kritik atas positivisme berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta
yang kaku dalam penelitian sosial.
Menurut para
lawan-lawan positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial
dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi ke dalam kuantifikasi
angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan
nilai-nilai yang bersifat kualitatif. Menjawab kritik ini, kaum positivisme
mengatakan bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak
menemukan ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi secara
empiris.Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi
positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, dan lain-lain.
Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai
metodologi dalam membangun pengetahuan mulai dari studi etnografi sampai
penggunaan analisa statistik.
Menurut
Prof.Noeng Muhadjir, positivisme merupakan salah satu tampilan filsafat
empirisme, yang merupakan bagian empiri yang direkam sebagai fakta sebatas apa
yang ditangkap oleh pancaindria kita dan kognisi kita yang pasif. Lebih lanjut
Prof.Noeng Muhadjir membagi positivisme dalam 2 bagian yaitu :
1. Positivisme Kualitatif Abad 19
M; merupakan filsafat ilmu social sciences yang menggunakan logika causal
relations dalam menelaah hubungan fakta satu dengan fakta lain dengan landasan
teori sosial universalisme atau teori sosial partikularisme historis.
2. Positivisme Elementer Abad 20
M; merupakan filsafat ilmu yang tidak lagi menggunakan teori sosial melainkan
menggunakan analogi dengan gejala alam fisika. Positivisme ini juga mengakui
kebenaran substantif dan kebenaran instrumentatif untuk membangun teori causal
relationnya.
9. Kontrukstivisme
Dalam pembahasan ini saya
mengambil referensi dari Paul Suparno dalam bukunya Filsafat Kontrukstivisme
dalam pendidikan dikarenakan keterbatasan dalam memahami apa yang dijelaskan
Prof.Noeng Muhadjir tentang konstruktivisme dalam bukunya filsafat ilmu. Konstruktivisme
adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia
menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar
bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
yang sesuai (Suparno, 2008:28).
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak
dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus
diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang
sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan
dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu
akan sangat berperan. Berbicara
tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah
psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses
belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan
intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori
pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme
selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan
memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan
dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai
seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi
pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih
rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piage, pengetahuan selalu memerlukan
pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental. Berkenaan dengan
asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul Suparno
(2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark
Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.
Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah
dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal
konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta
dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui”
berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih
menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para
empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan
luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno:
2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian
Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme,
terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan
berkembang melebihi gagasan Vico.
10. Rekontruksionisme
Rekonstruksionisme
berasal dari bahasa Inggris reconstruct yang berarti menyusun kembali.
Aliran rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari aliran progresivisme yang
dipelopori oleh John Dewey (1859-1952). Gerakan rekonstruksionisme ini lahir
didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan
melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang
ini. Maka dari itu aliran rekonstruksionisme memandang pendidikan sebagai reconstruct
of experiences (pembangunan kembali pengalaman-pengalaman) yang berlangsung
secara terus-menerus dalam hidup.
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme
bahwa ada kebutuhan alam yang mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi
kebudayaan zaman modern sekarang (hendak menyatakan krisis kebudayaan modern),
yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran
rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara dan jalan pemecahan yang
ditempuh filsafat perenialisme. Aliran perenialisme lebih memilih jalan kembali
ke alam kebudayaan abad pertengahan. Sementara itu aliran rekonstruksionisme
berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang
tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuan
tersebut, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai
tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan
baru seluruh lingkungannya, maka melalui lembagai dan proses pendidikan.
Aliran rekonstruksionisme juga memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme
namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara
dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat
relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan
mengubahnya. Aliran rekonstruksionisme menginginkan transformasi kultur yang
ada berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan
mendasar dalam praktik-praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis terhadap
masyarakat kontemporer dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap
isu-isu nasional dan internasional. Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan
anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan
alat untuk melakukan perubahan, yakni demi transformasi dunia ini lewat
rekonstruksi sosial. Guru dengan demikian memiliki peran penting dalam mengubah
kebudayaan. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts (1889-1974),
Harold Rugg (1886-1960), Theodore Brameld (1904-1987), Ivan Illich (1926-2002),
dan Paulo Freire (1921-1997).
Dalam bukunya
Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan bahwa tujuan
pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekedar pengetahuan, tetapi
memberi manusia apapun rasanya, kepercayaannya, dan kehidupan yang lebih
memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan, pelatihan dan keterampilan
adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni realisasi diri. Illich dalam
bukunya Deschooling Society (1970) mempertanyakan apakah dunia ini rela
membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah, membiarkan drop out anak-anak
dari golongan kelas bawah. Konstribusi aliran ini bukan untuk menghapus
sekolah, tetapi untuk melonggarkan pelembagaan (deinstituionalize) pengalaman
pendidikan di sekolah, agar siswa mampu mentransformasi kultur yang ada. Illich
melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan. Dengan menguasai bahasa sampai
tingkat literasi tinggi seseorang dapat menggapai kekuasaan dan mampu
mentransformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy of the Oppressed (1995),
Illich menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan
mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat dialog dan diskusi.
Dapat
disimpulkan dari penjelasan latar belakang aliran rekonstruksionisme di atas
bahwa dalam konteks filsafat pendidikan pengertian aliran rekonstruksionisme
adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
DAFTAR BACAAN
Amri, Amsal. (2009). Studi
Filsafat Pendidikan. Banda Aceh: PeNa.
Muhadjir, Noeng, Prof. Dr. H.(2015). Filsafat Ilmu Edisi V, Yogyakarta : Rake
Sarasin
Suriasumantri, Jujun S.(2009). Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta :Pustaka Sinar Harapan.
Suparno, Paul. (2008). Filsafat
Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.