Dalam kehidupan manusia setiap hal yang
dikerjakan merupakan proses dari berpikir. Untuk memulai suatu
kegiatan/pekerjaan manusia juga membutuhkan sebuah alat untuk mempermudah
pekerjaannya. Mulai dari alat untuk bepergian, mencuci pakaian, membawa barang
bawaan dari pasar bahkan manusia membutuhkan alat untuk berpikir. Alat yang
dimaksud adalah sarana yang kemudian dapat mempermudah manusia dalam berpikir. Tentunya
manusia dalam kehidupannya memiliki cara bepikir yang berbeda-beda pula
sehingga dalam menyelesaikan masalah masing-masing individu punya cara
tersendiri untuk memecahkan/menyelesaikan masalah. Apalagi jika dibedakan
dengan hewan, seperti yang ditulis oleh Suriasumantri J bahwa manusia mampu
memilih banyak cara untuk mencapai tujuannya sedangkan hewan hanya mampu
menyingkirkan apa yang menghalang tujuannya (Suriasumantri, 2009:165).
Untuk
mempermudah manusia dalam mendapatkan pengetahuan yang ilmiah,memecahkan
masalah dan membantu manusia berpikir dengan benar manusia membutuhkan sarana
berpikir ilmiah. Namun perlu diingat bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah
sebuah ilmu (Didapat dengan metode ilmiah). Karena fungsi sarana berpikir
ilmiah untuk membantu proses metode ilmiah (Suriasumantri, 2009:165). Jika
bahasannya dipersempit bidang ilmu yang digeluti merupakan sarana berpikir
ilmiah. Dalam pendidikan non formal
contohnya bagaimana kita dapat kontributif memfasilitasi pendidikan kepada
masyarakat yang caranya,langkah-langkahnya tersebut sudah dipikirkan secara
ilmiah dengan terlebih dahulu mengkaji dan memahami karakteristik dari suatu
masyarakat. Sehingga mendapatkan sebuah pengetahuan yang dapat membantu dalam
menyusun metode untuk kontributif memfasilitasi pendidikan masyarakat.
Untuk
memahami dengan mudah apa saja yang termasuk sarana berpikir ilmiah, kita dapat
membaginya kedalam 3 bagian yaitu :
1. Bahasa
2. Matematika
3. Statistika
1. Bahasa
Dunia
tanpa bahasa ibarat minum tanpa air, kita tidak bisa merasakan apa-apa kecuali
kebingungan yang melanda. Bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Gorys
Keraf, 1997:1). Lalu timbul pertanyaan jadi bagaimana jika dunia ini diisi oleh
manusia yang bisu, karena mereka tidak memiliki simbol bunyi untuk berbahasa.
Penjelasan tersebut dijelaskan dalam pengertian bahasa Webcter’s New Collegiate
Dictionary (1981:64) “ Languange is a systematic means of communicating ideas
or feelings by the use conventionalized signs, sound, gestures or marks having
understood meaning” ( Bahasa adalah sebuah makna sitematis dari ide-ide atau
perasaan-perasaan komunikasi dengan menggunakan rambu-rambu konvensional,
bunyi, gerak tubuh atau tanda yang dapat dimengerti). Jadi bahasa dapat
dikatakan sebagai sarana untuk berpikir ilmiah, karena tanpa bahasa manusia
dapat berpikir dengan baik, tanpa bahasa manusia tidak akan dapat berpikir
secara rumit dan abstrak seperti yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah.
Bahasa
juga merupakan sebuah jalan bagi manusia untuk membukukan pengetahuannya yang
dapat diolah menjadi ilmu. Aldoux Housley megatakan mungkin ada yang jenius
diantara para gorila namun karena mereka memiliki bahasa maka buah pikiran itu
menghilang begitu saja. Dalam komunikasi, bahasa juga merupakan hal yang sangat
penting. Sebelum menyampaikan informasi seharusnya kita melihat siapa
komunikannya, apakah ia bisa menerima pesan kita atau tidak, mungkin beda
bahasa, beda budaya dalam memaknai sebuah kata atau berbeda makna dalam satu
kata antara si penyampai informasi dengan komunikannya. Contohnya saja ungkapan
orang sumatera utara “Paten kau” dengan orang jawa “Paten kamu” sudah memiliki
arti yang sangat bertolak belakang. “Paten menurut orang sumatera utara berarti
ungkapan sesuatu yang bagus, atau mantap. Sedangkan menurut orang jawa hal itu
ungkapan untuk membunuh/mematian. Jadi sebelum menerima informasi kita harus
megkonfirmasi kembali agar tidak salah makna. Oleh sebab itu proses komunikasi
ilmiah harus bersifat jelas maksudnya makna yang terkandung dalam kata-kata
yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat untuk mencegah pemberian makna
lain serta harus obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.
2. Matematika
Matematika merupakan sebuah sarana
berpikir ilmiah berupa bahasa yang dapat menyimbolkan beberapa rangkaian makna
dari pernyataan yang mau disampaikan. Kita
bisa mengetahui logam akan bertambah panjang jika dipanaskan,namun kita tidak
bisa mengatakan dengan tepat berapa panjangnya. Penjelasan dan ramalan yang
diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, menyebabkan daya prediktif
dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Fungsi matematika sebagai bahasa,
sebagai alat berpikir, sarana berpikir deduktif. Matematika bukanlah
pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan
pengetahuan tersebut.
Bahasa
verbal tentunya mempunyai beberapa kekurangan, untuk mengatasi kekurangan yang
terdapat pada bahasa verbal, kita bisa menggunakan matematika. Oleh karena itu
matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan
emosional dari bahasa verbal. Bahasa verbal hanya mampu mengatakan pernyataan
yang bersifat kualitatif. Sedangkan matematika mampu mengatakan pernyataaan
bersifat kuantitatif yng merupakan daya
prediktif dan control dari ilmu. Jadi ilmu dapat memberikan jawaban yang lebih
bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara tepat dan cermat.
Matematika
sebagai ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat didalam
ilmu-ilmu empirik, melainkan didasarkan atas deduksi (penjabaran). Pengetahuan
yang didapatkan secara deduktif sangat berguna dan memberikan kejutan yang
sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang kita telah ketahui, kebenarannya
dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya
perbendaharaan ilmiah kita.
3. Statistik
Statistik
berfungsi meningkatkan ketelitian pengamatan kita dalam menarik kesimpulan
dengan jalan menghindarkan hubungan semu yang bersifat kebetulan. Penguasaan
statistik mutlak diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah sering kali
dilupakan orang. Berpikir logis secara deduktif sering sekali dikacaukan dengan
berpikir logis secara induktif. Kekacauan logika inilah yang menyebabkan kurang
berkembangnya ilmu dinegara kita. Kita cenderung untuk berpikir logis cara
deduktif dan menerapkan prosedur yang sama untuk kesimpulan induktif. Statistika
merupakan sarana berpikir yang diperluaskan untuk memproses pengetahuan secara
ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, maka statistika membantu
kita untuk mengeneralisasikan dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian
secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan.
Statistik
bukan merupakan sekumpulan pengetahuan mengenai objek tertentu melainkan
merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan. Metode keilmuan,
sejauh apa yang menyangkut metode, sebenarnya tak lebih dari apa yang dilakukan
seseorang dalam mempergunakan pikiran-pikiran tanpa ada sesuatu pun yang
membatasinya. Statistik selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga
merupakan bidang keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang
disamping merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema.
Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan
menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut.
Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan
yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik
melalui hitungan maupun pengkuran. Maka, Hartono Kasmadi, dkk.,
mengatakan bahwa, ”statistika (statistica) ilmu yang berhubungan dengan
cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan
pembuatan keputusan. Suatu ilmu dapat didefinisikan dengan
sederhana melalui pengujian statistika dan semua pernyataan keilmuan
dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengkajian melalui prosedur
pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung
fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran,
tetapi dapat juga sebaliknya.
Jujun S. Suriasumantri memberikan
contoh, penarikan kesimpulan yang tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik,
yaitu ” ”Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek
api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak
lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri,
menyeraahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini
benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”.
Tak seorangpun yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan
anak kecil itu”. Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan
seperti ini, maka prinsip-prinsip satatistika terabaikan, karena menurut Jujun
S. Suriasumantri, ”konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi
variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu”. Untuk itu, suatu
penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan
lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang
diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan”.
Statistik diperlukan untuk dapat menyimpulkan
secara induktif dengan benar sebuah pengamatan. Melakukan generalisasi berdasarkan karakteristik yang dikumpulkan. Statistika
merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan
gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran.
Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan
sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara
faktual. Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara empiris.
Karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan
dengan rumusan hipotesis. Jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis,
maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan
maka hipotesis itu ditolak”.
Kasmadi dkk, mengatakan pengujian
merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat
umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa
penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif. Pengujian
statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan
yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat
sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat
kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil
maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan
kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan
sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. Statistika juga memberikan
kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara
dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam
suatu hubungan yang bersifat empiris .
Jujun S. Suriasumantri juga mengatakan bahwa pengujian statistik
mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus
yang bersifat individual. Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa tinggi
rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, maka dalam hal ini yang paling logis
dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran seluruh anak umur 10 tahun di
Indonesia. Tetapi hal tersebut akan menemui hambatan yang tidak sedikit
baik waktu, tenaga juga biaya akan terkuras habis. Maka statistika memberikan
jalan keluar yaitu dengan cara manarik kesimpulan yang bersifat umum dengan
jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Kita hanya
perlu melakukan pengukuran pada sebagian anak saja. Penarikan kesimpulan yang
berdasarkan contoh (simple) dari populasi ini merupakan sebuah kesimpulan
umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun disuatu tempat.
Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.
Logika induktif, merupakan sistem
penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal
khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini
sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip
penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan
hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang
menyangkalnya maka kesimpulan itu benar. Logika induktif tidak memberikan
kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu
dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga
salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu
hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November
tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal
ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan
turun hujan. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah,
meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah,
namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan
kepastian namun sekedar tingkat peluang. Dengan demikian statistika
ini dasarnya adalah teori peluang.
Untuk berpikir induktif dalam
bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada
suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles, diperlukan
proses penalaran sebagai berikut: (1) Mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode
khusus yang digunakan observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus
dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti
obyek yang harus dipelajari. (2) Hipotesis ilmiah, langkah kedua dalam induksi
ialah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan
berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih
lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat
diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan
konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi
harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. (3) Verifikasi dan
pengukuran, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi.
Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau
diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta
lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara
kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni
makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian
kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang
mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah
membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup
generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis
tersebut menjadi suatu
teori. (4) Teori dan
hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk
sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah
untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin
semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis
bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal.
Maka, untuk diterapkan bagian semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang
derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Statistik diperlukan untuk dapat
menyimpulkan secara induktif dengan benar sebuah pengamatan. Melakukan generalisasi berdasarkan karakteristik yang dikumpulkan. Statistik
harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir
deduktif dan induktif yang merupakan cara dan berpikir ilmiah dapat dilakukan
dengan baik.
Referensi :
Bakhtiar, Amsal,. Filsafat Ilmu. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004)
Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2009)
Hartono
Kasmadi, Filsafat Ilmu, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990)
Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996)
Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu, Edisi kedua (diperbaharui), (Yogyakarta: Liberty, 1991)
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty,
2007)