Saturday 31 October 2015

SARANA BERPIKIR ILMIAH

Dalam kehidupan manusia setiap hal yang dikerjakan merupakan proses dari berpikir. Untuk memulai suatu kegiatan/pekerjaan manusia juga membutuhkan sebuah alat untuk mempermudah pekerjaannya. Mulai dari alat untuk bepergian, mencuci pakaian, membawa barang bawaan dari pasar bahkan manusia membutuhkan alat untuk berpikir. Alat yang dimaksud adalah sarana yang kemudian dapat mempermudah manusia dalam berpikir.     Tentunya manusia dalam kehidupannya memiliki cara bepikir yang berbeda-beda pula sehingga dalam menyelesaikan masalah masing-masing individu punya cara tersendiri untuk memecahkan/menyelesaikan masalah. Apalagi jika dibedakan dengan hewan, seperti yang ditulis oleh Suriasumantri J bahwa manusia mampu memilih banyak cara untuk mencapai tujuannya sedangkan hewan hanya mampu menyingkirkan apa yang menghalang tujuannya (Suriasumantri, 2009:165).
            Untuk mempermudah manusia dalam mendapatkan pengetahuan yang ilmiah,memecahkan masalah dan membantu manusia berpikir dengan benar manusia membutuhkan sarana berpikir ilmiah. Namun perlu diingat bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah sebuah ilmu (Didapat dengan metode ilmiah). Karena fungsi sarana berpikir ilmiah untuk membantu proses metode ilmiah (Suriasumantri, 2009:165). Jika bahasannya dipersempit bidang ilmu yang digeluti merupakan sarana berpikir ilmiah.  Dalam pendidikan non formal contohnya bagaimana kita dapat kontributif memfasilitasi pendidikan kepada masyarakat yang caranya,langkah-langkahnya tersebut sudah dipikirkan secara ilmiah dengan terlebih dahulu mengkaji dan memahami karakteristik dari suatu masyarakat. Sehingga mendapatkan sebuah pengetahuan yang dapat membantu dalam menyusun metode untuk kontributif memfasilitasi pendidikan masyarakat.
            Untuk memahami dengan mudah apa saja yang termasuk sarana berpikir ilmiah, kita dapat membaginya kedalam 3 bagian yaitu :
1. Bahasa
2. Matematika
3. Statistika


1. Bahasa
            Dunia tanpa bahasa ibarat minum tanpa air, kita tidak bisa merasakan apa-apa kecuali kebingungan yang melanda. Bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Gorys Keraf, 1997:1). Lalu timbul pertanyaan jadi bagaimana jika dunia ini diisi oleh manusia yang bisu, karena mereka tidak memiliki simbol bunyi untuk berbahasa. Penjelasan tersebut dijelaskan dalam pengertian bahasa Webcter’s New Collegiate Dictionary (1981:64) “ Languange is a systematic means of communicating ideas or feelings by the use conventionalized signs, sound, gestures or marks having understood meaning” ( Bahasa adalah sebuah makna sitematis dari ide-ide atau perasaan-perasaan komunikasi dengan menggunakan rambu-rambu konvensional, bunyi, gerak tubuh atau tanda yang dapat dimengerti). Jadi bahasa dapat dikatakan sebagai sarana untuk berpikir ilmiah, karena tanpa bahasa manusia dapat berpikir dengan baik, tanpa bahasa manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah.
            Bahasa juga merupakan sebuah jalan bagi manusia untuk membukukan pengetahuannya yang dapat diolah menjadi ilmu. Aldoux Housley megatakan mungkin ada yang jenius diantara para gorila namun karena mereka memiliki bahasa maka buah pikiran itu menghilang begitu saja. Dalam komunikasi, bahasa juga merupakan hal yang sangat penting. Sebelum menyampaikan informasi seharusnya kita melihat siapa komunikannya, apakah ia bisa menerima pesan kita atau tidak, mungkin beda bahasa, beda budaya dalam memaknai sebuah kata atau berbeda makna dalam satu kata antara si penyampai informasi dengan komunikannya. Contohnya saja ungkapan orang sumatera utara “Paten kau” dengan orang jawa “Paten kamu” sudah memiliki arti yang sangat bertolak belakang. “Paten menurut orang sumatera utara berarti ungkapan sesuatu yang bagus, atau mantap. Sedangkan menurut orang jawa hal itu ungkapan untuk membunuh/mematian. Jadi sebelum menerima informasi kita harus megkonfirmasi kembali agar tidak salah makna. Oleh sebab itu proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas maksudnya makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat untuk mencegah pemberian makna lain serta harus obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.


2. Matematika
   Matematika merupakan sebuah sarana berpikir ilmiah berupa bahasa yang dapat menyimbolkan beberapa rangkaian makna dari pernyataan yang  mau disampaikan. Kita bisa mengetahui logam akan bertambah panjang jika dipanaskan,namun kita tidak bisa mengatakan dengan tepat berapa panjangnya. Penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Fungsi matematika sebagai bahasa, sebagai alat berpikir, sarana berpikir deduktif. Matematika bukanlah pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. 
Bahasa verbal tentunya mempunyai beberapa kekurangan, untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa verbal, kita bisa menggunakan matematika. Oleh karena itu matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Bahasa verbal hanya mampu mengatakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Sedangkan matematika mampu mengatakan pernyataaan bersifat kuantitatif  yng merupakan daya prediktif dan control dari ilmu. Jadi ilmu dapat memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara tepat dan cermat.
Matematika sebagai ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat didalam ilmu-ilmu empirik, melainkan didasarkan atas deduksi (penjabaran). Pengetahuan yang didapatkan secara deduktif sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang kita telah ketahui, kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.
           
 
3. Statistik
          Statistik berfungsi meningkatkan ketelitian pengamatan kita dalam menarik kesimpulan dengan jalan menghindarkan hubungan semu yang bersifat kebetulan. Penguasaan statistik mutlak diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah sering kali dilupakan orang. Berpikir logis secara deduktif sering sekali dikacaukan dengan berpikir logis secara induktif. Kekacauan logika inilah yang menyebabkan kurang berkembangnya ilmu dinegara kita. Kita cenderung untuk berpikir logis cara deduktif dan menerapkan prosedur yang sama untuk kesimpulan induktif.  Statistika merupakan sarana berpikir yang diperluaskan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, maka statistika membantu kita untuk mengeneralisasikan dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan.
Statistik bukan merupakan sekumpulan pengetahuan mengenai objek tertentu melainkan merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan. Metode keilmuan, sejauh apa yang menyangkut metode, sebenarnya tak lebih dari apa yang dilakukan seseorang dalam mempergunakan pikiran-pikiran tanpa ada sesuatu pun yang membatasinya. Statistik selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema. Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut. Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengkuran. Maka, Hartono Kasmadi, dkk.,  mengatakan bahwa, ”statistika (statistica)  ilmu yang berhubungan dengan cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan pembuatan keputusan.   Suatu ilmu dapat didefinisikan dengan sederhana melalui pengujian statistika  dan semua pernyataan keilmuan dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengkajian melalui prosedur pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran, tetapi dapat juga sebaliknya.
Jujun S. Suriasumantri memberikan contoh, penarikan kesimpulan yang tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik, yaitu ” ”Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyeraahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”. Tak seorangpun yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak kecil itu”. Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan seperti ini, maka prinsip-prinsip satatistika terabaikan, karena menurut Jujun S. Suriasumantri, ”konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu”. Untuk itu, suatu penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan”.
Statistik diperlukan untuk dapat menyimpulkan secara induktif dengan benar sebuah pengamatan. Melakukan generalisasi  berdasarkan karakteristik yang dikumpulkan. Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual. Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara empiris. Karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan maka hipotesis itu ditolak”.
Kasmadi dkk, mengatakan pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif.  Pengujian statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. Statistika juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris .
Jujun S. Suriasumantri  juga mengatakan bahwa pengujian statistik mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, maka dalam hal ini yang paling logis dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran seluruh anak umur 10 tahun di Indonesia.  Tetapi hal tersebut akan menemui hambatan yang tidak sedikit baik waktu, tenaga juga biaya akan terkuras habis. Maka statistika memberikan jalan keluar yaitu dengan cara manarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Kita hanya perlu melakukan pengukuran pada sebagian anak saja. Penarikan kesimpulan yang berdasarkan contoh (simple) dari populasi ini merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun disuatu tempat. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.
Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar. Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan.  Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.  Dengan demikian statistika  ini dasarnya adalah teori peluang.
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles, diperlukan proses penalaran sebagai berikut: (1) Mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari. (2) Hipotesis ilmiah, langkah kedua dalam induksi ialah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. (3) Verifikasi dan pengukuran, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori.          (4) Teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagian semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Statistik diperlukan untuk dapat menyimpulkan secara induktif dengan benar sebuah pengamatan. Melakukan generalisasi  berdasarkan karakteristik yang dikumpulkan. Statistik harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan cara dan berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik.






Referensi :

Bakhtiar, Amsal,. Filsafat Ilmu. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009)

Hartono Kasmadi, Filsafat Ilmu, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990)

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996)
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua (diperbaharui), (Yogyakarta: Liberty, 1991)
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty, 2007)

TOKOH PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)