"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa"(QS.Al-Baqarah: 183).
Puasa mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah mahluk sejarah yang berperan aktif dalam pembentukan sejarah kehidupan manusia. Manusia bukanlah sosok yang tiba-tiba datang dari langit yang kemudian datang ke bumi atau sosok yang datang dari suatu tempat yang tidak diketahui latar belakangnya sehingga kita tak perlu peduli tentang apa yang akan diperbuatnya dimasa mendatang, dan bukan pula sosok yang kemudian tanpa jati diri dan dicitrakan dengan mengidentikkan umat Islam adalah teroris sebagaimana yang dituduhkan saat ini. Semua tuduhan negatif itu mungkin bisa terjadi kalau umat Islam itu tidak memiliki latar belakang sejarah yang jelas. Umat Islam adalah ummat yang memiliki jati diri dan sejarah yang jelas. Makanya seseorang itu tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan Islam seandainya prilakunya sangat jauh atau tidak sesuai dengan prilaku standar sejarah umat Islam dimasa lalu.
Dalam QS Al Baqarah ayat 183-184 Allah SWT berfirman bahwa pewajiban adanya puasa di bulan Ramadhan ini adalah kewajiban yang telah terjadi sebelum anda. Anda bisa bermakna dua, pertama anda bermakna masyarakat Rasulullah SAW yang dahulu mendapatkan wahyu Allah SWT saat itu, dan karenanya bermakna umat-umat beragama sebelum datangnya Islam, ada agama Yahudi, ada agama Nasrani, yakni agama Yahudi dan Nasrani yang benar yang mengenal pensyariatan puasa, meskipun bentuknya berbeda dengan pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan. Tapi secara prinsip syariat puasa telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Ini juga yang mengkaitkan bahwa sesungguhnya agama Islam bukanlah agama yang ingin tampil asal beda, tapi agama Islam adalah agama yang siap melanjutkan hal-hal yang positif yang ada pada ajaran-ajaran agama Samawi yang sebelumnya ada. Karenanya Islam juga melanjutkan agenda Allah yang besar seperti prinsip tauhid (keesaan Allah). Karenanya Islam juga mengakui ajaran kenabian seperti dalam ajaran agama samawi lainnya. Islam juga mengakui adanya ajaran kitab suci, Islam juga mengajarkan tentang pentingnya ahlaq, dll. Yang jelas Islam ini bukanlah agama jadi-jadian yang tidak jelas jati diri dan latar belakang sejarahnya. Atau agama yang asal beda. Tapi Islam adalah agam yang melanjutkan ajaran-ajaran yang positif yang telah dibawa oleh agama samawi sebelum Islam, yang termasuk didalamnya adalah ibadah saum di bulan Ramadhan.
Jadi jika minqoblikum disini diartikan sebagai umat nabi Muhammad, maka ummat nabi Muhammad (umat Islam) ini adalah yang melanjutkan peran sejarah yang dahulu pernah dilakukan oleh umat sebelum Islam dengan adanya perbaikan-perbaikan karena sudah adanya perubahan-perubahan dari agam tauhid yang dahulu dibawa oleh nabi Ibrahim AS, Musa AS dan Isa AS. Al Qur'an menyebutkan bahwa nabi Ibrahim itu bukanlah seorang yang beragam Yahudi, beragam Nasrani bukan pula orang yang musyrik tapi dia adalah seorang muslim yang muslim, yang hanif, yang lurus. Begitu juga dengan nabi Musa AS dan nabi Isa AS. Minkoblikum juga bisa berarti kita sekarang ini, saya dan anda semuanya. Kita telah diwajibkan Allah berpuasa sebagaimana generasi-generasi sebelum kita. Ayah kita, kakek kita, buyut kita dan seterusnya. Maknanya adalah bahwa dinamika tradisi berpuasa melanjutkan peran sejarah itu telah dilakukan oleh merek-mereka yang hidup sebelum kita sampai kepada nabi Muhammad SAW. Apakah yang mereka lakukan? Dalam konteks perjalanan sejarah mereka tidak pernah menjadikan puasa ini sebagai bulan untuk bermalas-malasan. Sebab sejarah tidak bisa dibuat dengan bermalas-malasan. Kalaupun ada adalah sejarah kaum pemalas.
Tidak ada penemuan-penemuan, tidak akan ada produk-produk, tidak ada bisnis yang unggul yang muncul dari para pemalas. Kita semua akan sukses bisnis, sukses kerja karena oleh mereka yang menghargai waktu, menghargai profesionalitas, menghargai jati diri, mereka yang bekerja secara efektif dan efesien dan dia memahami bahwa dia bisa menymbangkan dan menghasilkan sesuatu. Itulah karakter yang dilakukan oleh orang-orang yang berpuasa dan bisa membentuk sejarah.
Kemalasan bukanlah karakter yang dimiliki oleh generasi Rasulullah dan para sahabat yang telah berhasil menorah sejarah yang gilang-gemilang. Puasa Rasulullah dan para sahabat adalah puasa yang senantiasa diisi oleh pelaksanaan amal soleh yang berlipat ganda. Rasulullah dikenal sebagai tokoh yang serba positif, serba simpatik, serba proaktif kepada hal-hal yang membawa kepada kebaikan dan berusaha kuat menghalau segala kenegatifan.
Hal ini bisa terlihat dari kesigapan Rasulullah dalam menghadapi rongrongan kafir Quraisy yang terkenal dengan perang Badar. Dalam perang Badr ini terdapat dua peristiwa penting, pertama terjadinya Alfurkon yakni membedakan mana orang yang komitmen dengan kebenaran dan mana orang masih komitmen dengan kedzaliman. Dalam jihad di Badr terlihat jelas mana orang yang komitmen kepada Islam dan mana orang yang memusuhi Islam termasuk kaum munafik yang menjadi musuh dalam selimut. Adapun hal yang terpenting dari Peristiwa Badr ini memunculkan sebuah ungkapan yang dalam ilmu hadist masih dipertanyakan keabsahannya, sekalipun dalam tingkat makna tidak salah. "Kita baru saja pulang dari jihad kecil (perang Badr) menuju jihad yang paling besar yakni jihad melawan hawa nafsu". Tidak mungkin ungkapan ini muncul dari para pemalas, karena pemalas mendewakan hawa nafsunya.
Puasa bukanlah hanya sekedar memindahkan waktu makan saja, atau bukan juga kegitan rutinitas tahunan, tapi puasa ini diharapkan bisa memunculkan kesadaran zati diri bahwa masing-masing diri kita bisa membuat sejarah baru. Makanya ketika seseorang telah benar-benar mampu melawan hawa nafsunya maka ia akan mampu meninggalkan kemalasan, dan menghilangkan sifat rakus dalam dirinya dan mampu meninggalkan sifat korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat negeri ini semakin carut-marut. Maka ketika semua sifat negatif bisa dihilangkan dengan mengendalikan hawa nafsunya maka pada hakekatnya dia sedang membangun fondasi yang kokoh untuk membuat babak sejarah baru peradaban manusia. Makanya ketika seseorang sedang melakukan puasa di bulan Ramadhan ini berarti dia sedang melakukan jihad besar yakni sedang melawan hawa nafsunya. Jangan sampai kata jihad ini diidentikkan dengan sesuatu yang menyeramkan saja. Yang berkembang sekarang seolah-olah jihad itu identik dengan pedang yang terhunus yang menyeramkan.
Kita sebagai mahluk sejarah dimulai oleh ucapan Rasulullah dengan ungkapan kita sesungguhnya sedang melakukan jihad yang akbar yakni memerangi hawa nafsu. Makanya orang yang sedang berpuasa pada hakekatnya sedang menyambungkan hubungan dengan dzat Yang Maha Agung, Maha Kaya, Maha Sempurna, dan begitu juga ketika seseorang sedang mengumbar hawa nafsunya pada hakekatnya dia sedang menyambungkan hubungan dengan Syaithan yang serba rendah, serba lemah dan serba hina dina. Inilah dua kondisi hubungan yang kontradiktif dan membawa kepada dua konsekuwensi yang berbeda. Orang yang berhubungan dengan yang baik dia akan kecipratan kebaikan dan orang yang berhubungan dengan orang yang jelek dia juga akan kecipratan kejelekannya.
Bila jihad besar melawan hawa nafsu ini bisa dilakukan maka insya Allah akan terbentuklah sejarah peradaban baru membentuk masyarakat madani yang diidam-idamkan. Kesadaran untuk membuat sejarah peradaban baru ini juga akan muncul selain dengan jihadun nafs adalah melalui seperti dalam teologi tugas kemanusiaan. menyimpulkan bahwa sesungguhnya tugas utama manusia itu ada tiga, pertama merealisasikan ubudiyah kepada Allah SWT sehingga hubungan kita sangat dekat dan menjauhi dari godaan syaithan, kedua memakmurkan kehidupan (imaroh), ketiga memunculkan regenerasi bagi umat yang baru (khilafah fil ardi). Pemahaman sejarah seperti ini akan membawa kita pada kesadaran bahwa apa yang kita lakukan saat ini adalah akan sangat bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Apa yang kita produk pada hari ini seharusnya sesuatu yang akan berdampak positif bagi generasi mendatang,
Kalau dahulu Rasulullah SAW dengan aktifitas berislamnya telah mampu memunculkan sebuah karsa dan karya yang luar biasa hebat, ketika beliau telah mampu membebaskan Ka'bah dari belenggu dan lingkaran-lingkaran berhala yang sangat banyak dan terjadi pada bulan Ramadhan pula, sehingga saat kita semua shalat menghadap kiblat/ka'bah yang telah terbebas dari patung itu, sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bahwa prilaku pada suatu bangsa atau suatu masa itu akan berdampak kepada generasi berikutnya. Kita bisa membayangkan kalau Rasul gagal membebaskan Ka'bah dari berhala-berhala itu, bagaimana kita bisa menimbulkan ketauhidan yang benar kalau shalat saja kita menghadap kepada kiblat yang dipenuhi
kemusrikan.
Setelah berhasil membersihkan ka'bah dari berhala, Rasul kemudian tidak merubahnya dari bentuk yang berkaitan dengan kehidupan sosial pada masa itu, kemudian ia berkata kepada Aisyah : Kalaulah bangsamu bukan bangsa yang terlepas dari hubungan kejahiliyahan maka Ka'bah ini pasti akan aku rubah secara total dan akan aku kembalikan kepada aslinya seperti saat pertama dibangun oleh nabi Ibrahim AS. Hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah SAW karena mempertimbangkan sosiologi masyarakat Mekkah saat itu.
Karenanya dalam upaya memunculkan sejarah baru memahami sosiologi masyarakat kita adalah merupakan sebuah hal yang niscaya. Kita tidak bisa membayangkan apabila kita berusaha memunculkan sejarah baru dalam kehidupan ini, ingin memakmurkan dunia ini, kemudian kita melepaskan diri dari faktor sosial kita, itu merupakan hal yang tidak mungkin. Upaya kita untuk menyadari bahwa kita punya tugas sejarah bisa dilakukan melalui peran individual kita dengan memunculkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan, dan bermanfaat bagi generasi mendatang. Dan itu semua adalah faktor sosial.
Makanya kita khawatir diera reformasi ini, yang sebagian pejabatnya mengatakan tak usah pusing-pusing lah tambah utang saja dan ngutang terus, kan yang bayar nanti bukan kita tapi adalah generasi mendatang. Itulah pikiran destruktif yang bisa membebani dan menghancurkan generasi mendatang.
Seharusnya negara ini yang kaya raya ini harus makmur bukan malahan seperti tikus yang mati di lumbung padi. Seharusnya kita berpikir seperti negara Sudan, meskipun negaranya diembargo, tapi dia mampu bangkit dan hidup mandiri dan rakyatnya lebih sejahtera.
Puasa adalah traning langsung dari Allah SWT untuk mempersiapkan orang-orang yang akan membuat sejarah baru kehidupan. Berulang kali kita melakukan saum Ramadhan, maka mudah-mudahan pada tahun ini kita bisa memaksimalkan peran sejarah kita.
No comments:
Post a Comment