Monday, 9 November 2015

Perbandingan Pendapat Jujun S. Suriasumantri dengan Prof. Noeng Muhadjir Terhadap Filsafat Ilmu, Ontologi & Metafisika, Epistimologi, Askiologi, Kebenaran, Rasionalisme/Idealisme, Realisme/Empirisme, Positivisme, Kontruksivisme, Rekontruksivisme




1. Filsafat Ilmu
Menurut Jujun S. Suriasmantri, filasafat ilmu merupakan bagian dari epistimologi yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilu alam atau ilmu-ilmu sosial dan tidak mencirikan cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan pengetahuan secara filsafat, namun tidak dapat perbedaan yang prinsip antarailmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama. Semua pengetahuan apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya mempunyai 3 landasan yakni Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis. Dari semua pengetahuan maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin.
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Guru Besar Pasca Sarjana dalam Filsafat Ilmu, Penelitian dan kebijakan dalam bukunya Filsafat Ilmu, Positivisme, Postpositivisme dan Postmodernisme Edisi II menyatakan bahwa, perkembangan filsafat ilmu yangsangat pesat dari tahun 1960 sampai dengan tahun 1995 adalah satu buktitumbuhnya upaya telaah dari pengukuran kuantitatif ke meta-science.Perkembangan filsafat ilmu itu terus berlanjut sampai dengan tahun 2000 dalamkonteks postmodernisme, dimana konstruksi, struktur dan paradigma menjadiberkembang berkelanjutan; selalu terjadi rekonstruksi berkelanjutan, terjadidekonstruksi, berkembang pemikiran post struktural dan post paradigmatik, danlogika study berkembang menjadi non standar logic.
Filsafat Ilmu sebagaimana dimaksud di atas adalah bertugas memberi landasan filosofis untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu, sampaimembekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing-masing,agar dapat menampilkan substantif. Selanjutnya secara teknis diterapkan dengan dibentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangankonsep tesis, dan teori ilmiah dari disilpin ilmu masing-masing.
Dengan demikian maka Filsafat Ilmu akan sangat menambah wawasan bagi yang menggelutinya, artinya orang yang mendalami filsafat ilmu akan berwawasan luas, baik dalam arti filosofik, teoritik, metodologic, maupun teknis operasional.
Filsafat Ilmu memiliki empat obyek telaahan. Dua obyek menelaah substansinya, dan dua obyek lainnya menelaah instrumentasinya. Dua yang pertama (telaah substansi) adalah Fakta atau kenyataan; dan kebenaran. Sedangkan dua yang terakhir (telaah instrumentasi) adalah Uji konfirmasi; dan Logika Inferensi.

2. Ontologi dan Metafisika
            Prof. Dr. Noeng Muhadjir menyatakan bahwa Ontologi obyek bahasannya adalah yang ada. Study tentang yang ada pada dataran study filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Ontologi membahas tentang yang ada yang tidak terikat oleh suatu perwujudan tertentu; yang universal; dan berupaya mencari inti yang termuat dalam kenyataan atau yang meliputi semua realita dalam semua bentuknya.
Sementara menurut Jujun S. Suriasumantri, ontologi merupakan salah satu dari tiga aspek yang dikaji oleh filsafat ilmu. Ontologi berisikan pertanyaan tentang hakikat apa yang dikaji, obyek apa yang ditelaah ilmu? Sementara metafisika adalah salah satu bidang telaah filsafati dari aspek ontologi yang merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurnya. metafisika merupakan gabungan paham supranatural dan naturalisme yang meyakini bahwa semua yang ada dibumi memiliki penjelasan secara alam juga ada yang gaib.
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya berbicara tentang Ontologi adalah berbicara tentang hakikat ataupun kenyataan(realita) sesuatu yang ada, baik yang jasmani maupun yang rohani. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah pembicaraan tentang hakikat ataupun kenyataan(realita) sesuatu sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada.
 
3. Epistemologi
Menurut Jujun S. Suriasumantri setiap jenis pengetahuan memiliki ciri-ciri yang spesifik mengenai apa(ontologi), bagaimana(epistemologi), dan untuk apa (aksiologi). Dalam materi ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai epistemology.
Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan?Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.
Dalam kajian filsafati epistemology mengkaji cara menyusun pengetahuan yang benar. Sedangkan metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.  Jadi, dalam epistemologi dibahas metode ilmiah sebagai cara yang digunakan dalam mencari kebenaran.
Hal yang senada dan yang menjadi pelengkap ditulis Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, beliau menyatakan epistemologi membahas tentang terjadinya dan kesahinan atau kebenaran ilmu. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Amsal Bakhtiar yang menyatakan bahwa Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dandasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuanyang dimiliki. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana cara untuk mendapatkan ilmupengetahuan itu dan bagaimana melakukan pembenaran terhadapnya. Ada dua teori pembenaran tradisional ilmu pengetahuan sebagaimana dikemukakan oleh Noeng Muhadjir. Pembenaran pertama ialah teori koherentisisme dan yang kedua adalah teori foundationalisme.
Para penganut teori foundationalisme klasik berpendapat bahwa semua pengetahuan danpembenaran yang diyakini itu sepenuhnya berlandaskan pada pengetahuan danpembenaran noninferensial. Maksudnya : Pembenaran hari ini turun hujan dimaksudkan hanya membenarkan turun hujan; tetapi tidak ada maksud meramalkan bahwa hari lain dengan kondisi yang sama akan juga turun hujan.
Berbeda halnya dengan penganut pahan koherentisisme yang memandang bahwa yang diyakini itu tidak akan terlepas dari lingkaran dari semua yang diyakini. Yang diyakininya adalah tampilan kaya akan dihormati. Jajan di warung Tegal tak mau. Dikenal orang miskin tak mau, malu dikira miskin pula. Menurut teori ini sesuatu yang diyakini itu tidak terlepas dari keseluruhan sistem yang diyakininya, sehingga pembenaran terhadap sesuatu yang diyakini, dapat dilacak keterkaitannya dengan keseluruhan sistem yang diyakininya.
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut yang diperoleh manusia melalui akal, indera, dan lain sebagainya mempunyai metode tersendiri dalam teori pengatahuan. Ada sejumlah teori untuk mendapatkannya, antara lain :
1. Metode Induktif
Metode Induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasidisimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dan menurut suatu pandanganyang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatuinferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataantunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampaipada pernyataan-pernyataan universal.
2. Metode Deduktif
Metode Deduktif ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebihlanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut . Hal-hal yang harus ada dalammetode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulanitu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teoritersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan denganteori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiriskesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode inidikeluarkan oleh August Comte (1798-1857 M). Metode ini berpangkal dari apayang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segalauraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolakmetafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dansegala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmupengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja. Menurutnya perkembanganpemikiran manusia itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu : tahap teologis,tahap metafisis dan tahap positivistis.
4. Metode Kontemplatif
Metode inimengatakan adanya keterbatasn indera dan akal manusia untuk memperolehpengetahuan, sehingga obyek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda harusnyadikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yangdiperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi sepertiyang dilakukan oleh Al-Ghozali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistemik tentang ide-ideuntuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

4. Aksiologi
Jujun S. Sumriasumantri dalam bukunya mengungkapkan bahwa untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Kearah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Sejak pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perpektif yang berbeda. Sejak Copernikus ( 1473-1543 ) mengajukan teori tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya seperti apa yang diajarkan oleh ajaran agama maka disinilah timbul interaksi antara ilmu dan moral ( yang bersumbe dari ajaran agama ). Para ilmuan berusaha untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana semboyan : ilmu yang bebas nilai. Secara historis fungsi sosial dari kaum ilmuwan telah lama dikenal dan diakui. Raja Charles II dari Inggris mendirikan the Royal Society yang bertindak selaku penawar bagi fanatisme di masyarakat waktu itu. Para ilmuwan pada waktu itu bersuara mengenai toleransi beragama dan pembakaran tukang-tukan sihir. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuwan yang dilakukan. Ilmu terbebas dari nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang memberikan nilai. Dalam menghadapi masalah social, seorang ilmuwan yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup harus menempatkan masalah tersebut pada proporsi ang sebenarnya dan menjelaskanya lepada masyarakat dalam bahasa yang dapat dicerna. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan maka harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogiyanya mereka safari. Dibidang etika, tanggungjawab seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi tetapi memberikan contoh. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuanya untuk menindas bangsa lain meskipun yang menggunakan itu adalah bangsanya sendiri. Einstein waktu itu memihak Sekutu karena anggapanya bahwa sekutu mewakili aspirasi kemanusiaan. Jika sekutu kalah maka yang akan muncul adalah rezim Nazi yang tidak berperikemanusiaan. Untuk itu seorang ilmuwan tidak boleh berpaku tangan. Dia harus memilih sikap: berpihak kepada kemanusiaan atau tetap bungkam?. Seorang ilmuwan tak boleh memutarbalikan penemuwannya bila hipotesisnya yang dijunjung tinggi yang disusun diatas kerangka pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian.
Sejarah mencatat bahwa ilmu pengetahuan adalah merupakan satu alat yang sangat diperlukan olehummat manusia dalam situasi dan kondisi apapun ia berada sebab dengan ilmupengetahuan segala urusan akan dengan mudah dapat dilakukan dan tujuan yanghendak dicapai akan dapat tercapai dalam waktu yang relatif singkat. Oleh karena itulah maka dalam ajaran agama Islam disebutkan Allah SWTakan meninggikan derajat orang yeng berilmu pengetahuan beberapa derajat dan bahkan lebih tinggi derajatnya daripada Malaikat Nabinya juga bersabda :Kalau anda ingin hidup bahagia dan selamat di dunia maka raihlah ilmupengetahuan, dan apabila anda ingin hidup bahagia dan selamat di akahirat makaraihlah ilmu pengetahuan, dan apabila anda ingin bahagia dan selamat di duniadan akhirat bersamaan maka raihlah ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengatahuan yang dibarengi dengan berkembangnya tekhnologi telah membawa dua dampak yang saling berlawanan bagi ummat manusia. Pada satu sisi memberikan dampak positif yang sangat besar sebab memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi segenap ummat manusia yang memakainya. Namun pada sisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ini telah membawa malapetaka bagi ummat manusia seperti terjadinya perang dengan korban ribuan bahkan jutaan ummat manusia dan lain-sebagainya.
Oleh karena itulah maka ilmu pengetahuan yang pada dasarnya adalah bebas nilai, menjadi tanggungjawab bagi para ilmuan untuk mengisinya dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan, sehingga ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut dapat mengabdi untuk kemanusiaan dan perbaikan kesejahteraan ummat manusia, bukan justru untuk merusak dan membinasakan kemanusian dan alam sekitar. Untuk mengenal apa yang dimaksud dengan Aksiologi, ada beberapa definisi tentang Aksiologi, sebagai berikut :
1.      Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi Aksiologi adalah teori tentang nilai.
2.       Sedangkan arti Aksiologi yang terdapat dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilimu Sebuah Pengantar Populer, bahwa aksiologi diartikan sebagaiteori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3.      Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct,yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kedua,esthetic exepression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkankeindahan. Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yangakan melahirkan filsafat sosial politik.
4.      Menurut Prof.Noeng Muhajir, Aksiologi disamakan dengan Value dan Valuation yang artinya Nilai baik sebagai kata benda abstrak, kata benda konkrit maupun kata kerja. Dan menamakan axiology dengan The teory of value dan termasuk bagian dari etika.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa aksiologi itu permasalahan sesungguhnya adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Apabila nilai,etika dan estetika ini dapat diterapkan dalam dunia ilmu pengetahuan dan tekhnologi maka dapat dipastikan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu akan dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi ummat manusia. Namun apabila sebaliknya yang terjadi, dimana para ilmuan tidak dapat memberikan danbahkan mengontrol kemajuan ilmu pengatahuan dan tekhnologi dengan nilai, etika dan estetika, maka kehancuran ummat manusialah yang akan terjadi. Kemajuan ilmupengatahuan bukannya akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, tetapi justru akan menjadi laknat yang akan menghancurkan kemanusiaan dan alam semesta.
Oleh karena itu maka peran agama sangatlah diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebab agama akan memberikan arah dan tujuan yang jelas dan bemanfaatbagi manusia dan alam sekitar. Dalam pandaangan agama Islam sebagaimana sering disampaikan oleh para pemikir muslim komtemporer, Islamisasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi mutlak diperlukan.

5. Kebenaran
Jujun S. Suriasumantri menjelaskan “kebenaran” berdasarkan kriteria kebenaran  yaitu :
a.Paham-Koherensi
Sesuatu yang dianggap benar apabila pernyataan dan kesimpulan konsisten dengan pernyataan dan kesimpulan yang terdahulu yang telah dianggap benar. Teori ini disebut teori koherensi. Atau dapat disimpulkan bahwa teori koherensi adalah suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar
.
b.Paham-Korespondensi ; Bagi penganut teori korespondensi, suatu pernyataan benar adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi ( berhubungan ) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
c.Paham-Pragmatisme; Bagi kaum pragmatisme kebenaran adalah suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
            Menurut Prof.Noeng Muhadjir kebenaran dapat dikatakan benar dalam dua makna, yaitu :
1. Benar dalam makna filsafati yang terkait dengan pandangan ontologi, pandangan axiologi, dan pandangan epistimologi.
2. Benar epistemologik yang menghasilkan kebenaran yang beragam sesuai dengan cara membuktikan kebenaran yang digunakan. Adapun cara membuktikan kebenaran tersebut ialah :
a. Kebenaran positivistik; yang dapat dibuktikan dengan causal relations serangkaian fakta empirik indriawi, mereduksi empiri non indriawi.
b. Kebenaran konstruk interpretif kebahasaan; merupakan kebenaran dari kesatuan suatu bahasa.
c. Kebenaran phenomenologik; merupakan kebenaran koherensi yaitu sinkronnya moral yang lebih rendah terhadap moral yang lebih tinggi
d. Kebenaran Constructed

6. Rasionalisme/Idealisme
            Menurut Jujun S.Suriasumantri, Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis beranggapan bahwa pengetahuan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak sedangkan kaum empirisme pengetahuan manusia didapatkan lewat bukti konkret. Selain rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Suatu masalah dalam pikiran namun menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya dan kita merasa yakin bahwa itulah jawabannya namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai kesana. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Wahyu pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada para nabi dan rasul-rasulnya.
            Menurut Prof.Noeng Muhadjir, Rasionalisme pada dasarnya kontras terhadap empirisme. Kebenaran substantif dalam visi rasionalisme diperoleh lewat kekuatan argumentasi manusia. Perkembangan rasionalisme dapat dirunut dari Descartes, Spinoza, dan leibniz yang doktrinnya adalah semua ilmu itu berasal dari Tuhan. Sedangkan menurut para rasionalis, peran tuhan berada pada dataran metaphisik, berbeda dengan pengembangan ilmu yang epistomologik. Dalam pembahasannya Prof.Noeng Muhadjir, memfokuskan pembahasan empirisme pada positivisme.

7. Realisme/Empirisme
Menurut Prof.Noeng Muhadjir, Realisme pada garis besarnya merupakan sintesis antara idelaisme Immanuel Kant dengan Empirisme John Lock. Empirisme adalah suatu cara atau metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. John Locke (1632-1704), bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan, akalnya seperti catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah kemudian dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu.
Dengan demikian, strategi utama untuk memperoleh ilmu dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai tempat penampungan secara pasif, menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial. Acapkali empirisme diparalelkan dengan tradisi positivisme. Akan tetapi keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.
8. Positivisme
 Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar 1825). Positivisme berakar para empirisme. Prinsip filosofis tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris Francis Bacon (1600). Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin menjadi objek pengetauhan. Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak penggunaan segala metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Aliran positivisme berpendapat bahwa filsafat hendaknya semata-mata berpangkal pada peristiwa positif yang dialami manusia. Positivisme adalah doktrin filsafat dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif. Ia mengganti nilai subjektif dengan fakta yang bisa diamati.
Salah satu bagian dari tradisi positivisme adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ pada awal abad ke duapuluh. Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang lebih banyak disandarkan pada deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial harus “diilmiahkan”. Kritik atas positivisme berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial.
Menurut para lawan-lawan positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi ke dalam kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai yang bersifat kualitatif. Menjawab kritik ini, kaum positivisme mengatakan bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi secara empiris.Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, dan lain-lain. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan mulai dari studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik.
Menurut Prof.Noeng Muhadjir, positivisme merupakan salah satu tampilan filsafat empirisme, yang merupakan bagian empiri yang direkam sebagai fakta sebatas apa yang ditangkap oleh pancaindria kita dan kognisi kita yang pasif. Lebih lanjut Prof.Noeng Muhadjir membagi positivisme dalam 2 bagian yaitu :
1. Positivisme Kualitatif Abad 19 M; merupakan filsafat ilmu social sciences yang menggunakan logika causal relations dalam menelaah hubungan fakta satu dengan fakta lain dengan landasan teori sosial universalisme atau teori sosial partikularisme historis.
2. Positivisme Elementer Abad 20 M; merupakan filsafat ilmu yang tidak lagi menggunakan teori sosial melainkan menggunakan analogi dengan gejala alam fisika. Positivisme ini juga mengakui kebenaran substantif dan kebenaran instrumentatif untuk membangun teori causal relationnya.
           
9. Kontrukstivisme
            Dalam pembahasan ini saya mengambil referensi dari Paul Suparno dalam bukunya Filsafat Kontrukstivisme dalam pendidikan dikarenakan keterbatasan dalam memahami apa yang dijelaskan Prof.Noeng Muhadjir tentang konstruktivisme dalam bukunya filsafat ilmu. Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28).
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan. Berbicara tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piage, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental. Berkenaan dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.
Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
10. Rekontruksionisme
            Rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris reconstruct yang berarti menyusun kembali. Aliran rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari aliran progresivisme yang dipelopori oleh John Dewey (1859-1952). Gerakan rekonstruksionisme ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Maka dari itu aliran rekonstruksionisme memandang pendidikan sebagai reconstruct of experiences (pembangunan kembali pengalaman-pengalaman) yang berlangsung secara terus-menerus dalam hidup.
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme bahwa ada kebutuhan alam yang mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang (hendak menyatakan krisis kebudayaan modern), yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara dan jalan pemecahan yang ditempuh filsafat perenialisme. Aliran perenialisme lebih memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan. Sementara itu aliran rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya, maka melalui lembagai dan proses pendidikan.
Aliran rekonstruksionisme juga memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Aliran rekonstruksionisme menginginkan transformasi kultur yang ada berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis terhadap masyarakat kontemporer dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap isu-isu nasional dan internasional. Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan, yakni demi transformasi dunia ini lewat rekonstruksi sosial. Guru dengan demikian memiliki peran penting dalam mengubah kebudayaan. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts (1889-1974), Harold Rugg (1886-1960), Theodore Brameld (1904-1987), Ivan Illich (1926-2002), dan Paulo Freire (1921-1997).
Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan bahwa tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekedar pengetahuan, tetapi memberi manusia apapun rasanya, kepercayaannya, dan kehidupan yang lebih memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan, pelatihan dan keterampilan adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni realisasi diri. Illich dalam bukunya Deschooling Society (1970) mempertanyakan apakah dunia ini rela membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah, membiarkan drop out anak-anak dari golongan kelas bawah. Konstribusi aliran ini bukan untuk menghapus sekolah, tetapi untuk melonggarkan pelembagaan (deinstituionalize) pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu mentransformasi kultur yang ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan. Dengan menguasai bahasa sampai tingkat literasi tinggi seseorang dapat menggapai kekuasaan dan mampu mentransformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy of the Oppressed (1995), Illich menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat dialog dan diskusi.
Dapat disimpulkan dari penjelasan latar belakang aliran rekonstruksionisme di atas bahwa dalam konteks filsafat pendidikan pengertian aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.

DAFTAR BACAAN
Amri, Amsal. (2009). Studi Filsafat Pendidikan. Banda Aceh: PeNa.
Muhadjir, Noeng, Prof. Dr. H.(2015). Filsafat Ilmu Edisi V, Yogyakarta : Rake Sarasin
Suriasumantri, Jujun S.(2009). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta :Pustaka Sinar Harapan.
Suparno, Paul. (2008). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Saturday, 31 October 2015

SARANA BERPIKIR ILMIAH

Dalam kehidupan manusia setiap hal yang dikerjakan merupakan proses dari berpikir. Untuk memulai suatu kegiatan/pekerjaan manusia juga membutuhkan sebuah alat untuk mempermudah pekerjaannya. Mulai dari alat untuk bepergian, mencuci pakaian, membawa barang bawaan dari pasar bahkan manusia membutuhkan alat untuk berpikir. Alat yang dimaksud adalah sarana yang kemudian dapat mempermudah manusia dalam berpikir.     Tentunya manusia dalam kehidupannya memiliki cara bepikir yang berbeda-beda pula sehingga dalam menyelesaikan masalah masing-masing individu punya cara tersendiri untuk memecahkan/menyelesaikan masalah. Apalagi jika dibedakan dengan hewan, seperti yang ditulis oleh Suriasumantri J bahwa manusia mampu memilih banyak cara untuk mencapai tujuannya sedangkan hewan hanya mampu menyingkirkan apa yang menghalang tujuannya (Suriasumantri, 2009:165).
            Untuk mempermudah manusia dalam mendapatkan pengetahuan yang ilmiah,memecahkan masalah dan membantu manusia berpikir dengan benar manusia membutuhkan sarana berpikir ilmiah. Namun perlu diingat bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah sebuah ilmu (Didapat dengan metode ilmiah). Karena fungsi sarana berpikir ilmiah untuk membantu proses metode ilmiah (Suriasumantri, 2009:165). Jika bahasannya dipersempit bidang ilmu yang digeluti merupakan sarana berpikir ilmiah.  Dalam pendidikan non formal contohnya bagaimana kita dapat kontributif memfasilitasi pendidikan kepada masyarakat yang caranya,langkah-langkahnya tersebut sudah dipikirkan secara ilmiah dengan terlebih dahulu mengkaji dan memahami karakteristik dari suatu masyarakat. Sehingga mendapatkan sebuah pengetahuan yang dapat membantu dalam menyusun metode untuk kontributif memfasilitasi pendidikan masyarakat.
            Untuk memahami dengan mudah apa saja yang termasuk sarana berpikir ilmiah, kita dapat membaginya kedalam 3 bagian yaitu :
1. Bahasa
2. Matematika
3. Statistika


1. Bahasa
            Dunia tanpa bahasa ibarat minum tanpa air, kita tidak bisa merasakan apa-apa kecuali kebingungan yang melanda. Bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Gorys Keraf, 1997:1). Lalu timbul pertanyaan jadi bagaimana jika dunia ini diisi oleh manusia yang bisu, karena mereka tidak memiliki simbol bunyi untuk berbahasa. Penjelasan tersebut dijelaskan dalam pengertian bahasa Webcter’s New Collegiate Dictionary (1981:64) “ Languange is a systematic means of communicating ideas or feelings by the use conventionalized signs, sound, gestures or marks having understood meaning” ( Bahasa adalah sebuah makna sitematis dari ide-ide atau perasaan-perasaan komunikasi dengan menggunakan rambu-rambu konvensional, bunyi, gerak tubuh atau tanda yang dapat dimengerti). Jadi bahasa dapat dikatakan sebagai sarana untuk berpikir ilmiah, karena tanpa bahasa manusia dapat berpikir dengan baik, tanpa bahasa manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah.
            Bahasa juga merupakan sebuah jalan bagi manusia untuk membukukan pengetahuannya yang dapat diolah menjadi ilmu. Aldoux Housley megatakan mungkin ada yang jenius diantara para gorila namun karena mereka memiliki bahasa maka buah pikiran itu menghilang begitu saja. Dalam komunikasi, bahasa juga merupakan hal yang sangat penting. Sebelum menyampaikan informasi seharusnya kita melihat siapa komunikannya, apakah ia bisa menerima pesan kita atau tidak, mungkin beda bahasa, beda budaya dalam memaknai sebuah kata atau berbeda makna dalam satu kata antara si penyampai informasi dengan komunikannya. Contohnya saja ungkapan orang sumatera utara “Paten kau” dengan orang jawa “Paten kamu” sudah memiliki arti yang sangat bertolak belakang. “Paten menurut orang sumatera utara berarti ungkapan sesuatu yang bagus, atau mantap. Sedangkan menurut orang jawa hal itu ungkapan untuk membunuh/mematian. Jadi sebelum menerima informasi kita harus megkonfirmasi kembali agar tidak salah makna. Oleh sebab itu proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas maksudnya makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat untuk mencegah pemberian makna lain serta harus obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.


2. Matematika
   Matematika merupakan sebuah sarana berpikir ilmiah berupa bahasa yang dapat menyimbolkan beberapa rangkaian makna dari pernyataan yang  mau disampaikan. Kita bisa mengetahui logam akan bertambah panjang jika dipanaskan,namun kita tidak bisa mengatakan dengan tepat berapa panjangnya. Penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Fungsi matematika sebagai bahasa, sebagai alat berpikir, sarana berpikir deduktif. Matematika bukanlah pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. 
Bahasa verbal tentunya mempunyai beberapa kekurangan, untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa verbal, kita bisa menggunakan matematika. Oleh karena itu matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Bahasa verbal hanya mampu mengatakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Sedangkan matematika mampu mengatakan pernyataaan bersifat kuantitatif  yng merupakan daya prediktif dan control dari ilmu. Jadi ilmu dapat memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara tepat dan cermat.
Matematika sebagai ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat didalam ilmu-ilmu empirik, melainkan didasarkan atas deduksi (penjabaran). Pengetahuan yang didapatkan secara deduktif sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang kita telah ketahui, kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.
           
 
3. Statistik
          Statistik berfungsi meningkatkan ketelitian pengamatan kita dalam menarik kesimpulan dengan jalan menghindarkan hubungan semu yang bersifat kebetulan. Penguasaan statistik mutlak diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah sering kali dilupakan orang. Berpikir logis secara deduktif sering sekali dikacaukan dengan berpikir logis secara induktif. Kekacauan logika inilah yang menyebabkan kurang berkembangnya ilmu dinegara kita. Kita cenderung untuk berpikir logis cara deduktif dan menerapkan prosedur yang sama untuk kesimpulan induktif.  Statistika merupakan sarana berpikir yang diperluaskan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, maka statistika membantu kita untuk mengeneralisasikan dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan.
Statistik bukan merupakan sekumpulan pengetahuan mengenai objek tertentu melainkan merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan. Metode keilmuan, sejauh apa yang menyangkut metode, sebenarnya tak lebih dari apa yang dilakukan seseorang dalam mempergunakan pikiran-pikiran tanpa ada sesuatu pun yang membatasinya. Statistik selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema. Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut. Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengkuran. Maka, Hartono Kasmadi, dkk.,  mengatakan bahwa, ”statistika (statistica)  ilmu yang berhubungan dengan cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan pembuatan keputusan.   Suatu ilmu dapat didefinisikan dengan sederhana melalui pengujian statistika  dan semua pernyataan keilmuan dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengkajian melalui prosedur pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran, tetapi dapat juga sebaliknya.
Jujun S. Suriasumantri memberikan contoh, penarikan kesimpulan yang tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik, yaitu ” ”Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyeraahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”. Tak seorangpun yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak kecil itu”. Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan seperti ini, maka prinsip-prinsip satatistika terabaikan, karena menurut Jujun S. Suriasumantri, ”konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu”. Untuk itu, suatu penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan”.
Statistik diperlukan untuk dapat menyimpulkan secara induktif dengan benar sebuah pengamatan. Melakukan generalisasi  berdasarkan karakteristik yang dikumpulkan. Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual. Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara empiris. Karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan maka hipotesis itu ditolak”.
Kasmadi dkk, mengatakan pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif.  Pengujian statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. Statistika juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris .
Jujun S. Suriasumantri  juga mengatakan bahwa pengujian statistik mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, maka dalam hal ini yang paling logis dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran seluruh anak umur 10 tahun di Indonesia.  Tetapi hal tersebut akan menemui hambatan yang tidak sedikit baik waktu, tenaga juga biaya akan terkuras habis. Maka statistika memberikan jalan keluar yaitu dengan cara manarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Kita hanya perlu melakukan pengukuran pada sebagian anak saja. Penarikan kesimpulan yang berdasarkan contoh (simple) dari populasi ini merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun disuatu tempat. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.
Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar. Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan.  Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.  Dengan demikian statistika  ini dasarnya adalah teori peluang.
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles, diperlukan proses penalaran sebagai berikut: (1) Mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari. (2) Hipotesis ilmiah, langkah kedua dalam induksi ialah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. (3) Verifikasi dan pengukuran, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori.          (4) Teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagian semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Statistik diperlukan untuk dapat menyimpulkan secara induktif dengan benar sebuah pengamatan. Melakukan generalisasi  berdasarkan karakteristik yang dikumpulkan. Statistik harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan cara dan berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik.






Referensi :

Bakhtiar, Amsal,. Filsafat Ilmu. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009)

Hartono Kasmadi, Filsafat Ilmu, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990)

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996)
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua (diperbaharui), (Yogyakarta: Liberty, 1991)
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty, 2007)